TEMPO.CO, Depok – Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Kota Religius, Wali Kota Mohamad Idris angkat bicara.
Menurut dia, raperda yang diajukan dalam rapat Badan Musyawarah DPRD tersebut adaah inisiatif Pemerintah Kota Depok untuk mewujudkan masyarakat Depok yang religius. “Ini sesuai dengan visi misi Kota Depok yaitu Unggul, Nyaman, dan Religius,” kata Idris dalam keterangan resmi yang diterima Tempo pada Minggu 19 Mei 2019.
Simak: Disebut Kota Tak Layak Huni, Wali Kota Depok Sangkal Metodologi
Idris menuturkan Raperda Kota Religius masih bersifat ringkasan eksekutif (Executive Summary) sehingga masih terbuka kajian mendalam atas substansinya dari berbagai pihak, khususnya DPRD Kota Depok.
Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan religius adalah terjaminnya hak-hak masyarakat dalam menjalankan kewajiban agama bagi pemeluknya. Hak itu tecermin dalam peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kemuliaan dalam akhlak, moral, dan etika serta berwawasan kenegaraan dan kebangsaan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Dan senantiasa menjunjung tinggi harkat, martabat dan kemuliaan berdasarkan norma agama, norma hukum, norma kesusilaan dan norma kesopanan,” tutur Idris.
Sebelumnya, DPRD Kota Depok menolak usulan Raperda Penyelenggaraan Kota Religius masuk dalam Program Legislasi Daerah atau Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2020. Ketua DPRD Hendrik Tangke Allo mengatakan, dalam rapat Bamus diusulkan 11 raperda masuk Propemperda 2020, salah satunya Raperda Kota Religius.
Dia mengutarakan Raperda Kota Religius diusulkan oleh Pemerintah Kota Depok untuk mengatur secara substansial kehidupan beragama di Kota Depok. Tapi, politikus PDI Perjuangan itu khawatir raperda tersebut dapat menimbulkan sikap intoleransi dan pengkotak-kotakan umat beragama jika disahkan menjadi produk hukum.
“Padahal, Kota Depok ini menjunjung tinggi pluralisme,” katanya kepada Tempo pada Jumat lalu, 17 Mei 2019.
Masih ada alasan legal, yakni substansi Raperda Kota Religius bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang disebutkan, Hendrik menjelaskan, urusan agama menjadi kewenangan absolut Pemerintah Pusat, bukan daerah. Maka secara tegas dirinya dan beberapa fraksi lainnya di DPRD Kota Depok menolak memasukkan Raperda Kota Religius dalam Propemperda 2020.
“Saya tolak. Dan dari seluruh fraksi hanya Fraksi PKS yang ngotot (memasukkan raparda itu dalam Porpemperda 2020),” ucap Hendrik.
Simak pula: Khawatirkan LGBT, Wali Kota Depok Keluarkan Surat Edaran
Wali Kota Idris melanjutkan, spirit penyusunan Raperda Kota Religius berlandaskan Sila Pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut dia, nilai-nilai religius tidak hanya mengurus soal-soal urusan pribadi namun yang terpenting bagaimana praktek keberagamaan itu terefleksi dalam kehidupan sosial-politik di Indonesi, yang menganut kebhinekaan.
Dia berharap raperda itu menjadikan masyarakat Kota Depok yang heterogen dapat hidup harmonis, rukun, damai, aman, tertib, dan tentram. Idrisa beralasan bahwa pemerintah daerah berwenang melaksanakan urusan di bidang ketenteraman ketertiban umum dan perlindungan masyarakat serta bidang sosial, sebagaimana amanat Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA